ASSALAMUALAIKUM!
Ini deh, cerpenku. Kalau udah baca, di komen ya! :) ada satu tokoh yang nggak aku ganti namanya. Males ngerubah judul juga sih.. enjoy!
-------------------------------------------------
BRUK!!
Aku terjatuh. Kepalaku sakit sekali. Ibu tergopoh-gopoh menghampiriku, berusaha membopongku ke kamar. Ibu membaringkanku di tempat tidur. Aku menggigit bibir, berusaha meredam sakit kepalaku yang kurasa bisa membunuhku dalam sekejap. Dalam samar penglihatanku, kulihat wajah Ibu yang panik. Kurasakan tangan lembut Ibu mengusap kepalaku. Lalu gelap sama sekali.
--------------------------------------------------
Aku membuka mata, lalu mengerjapkannya beberapa kali. Bau yang familiar menghinggapi hidungku. Bau klinik. Oh ya. Karena pingsanku tadi, ah, atau kemarin? Entahlah. Yang jelas aku berada disini karena pingsanku. Aku menoleh ke kiri. Ibu tertidur dengan lelap. Perlahan ku elus tangan Ibu. Tangan yang merawatku selama ini. Selama enambelas tahun ini.
Aku, Diandra Safira, sudah dua tahun belakangan ini mengidap kanker otak. Aku tak tau stadium berapa. Ibu yang tau. Tapi Ibu tak mau memberitauku. Entah mengapa. Aku sendiri tak mau bersusah payah membujuk Ibu untuk memberitauku. Jawaban Ibu hanya akan membuatku lebih benci kepada takdir. Ah, ya, aku memang kurang ajar. Bisa-bisanya membenci putusan Tuhan. Tapi bagaimana bisa aku tidak benci, kalau hidupku selalu berada di bawah?
Orang-orang bilang, kehidupan itu seperti roda. Kadang diatas, kadang dibawah. Tapi kurasa aku hanya sekejap saja berada di atas, dan pada akhirnya selalu di bawah. Kau pikirlah dengan logikamu, apa yang terjadi padaku selama ini. Aku anak tunggal dari sebuah keluarga yang awalnya kaya raya. Ayah adalah seorang pebisnis sukses. Ibu seorang pengusaha butik yang cabangnya sudah beredar ke seluruh Indonesia, Butik Supernova. Aku yakin kau pernah mendengarnya, dulu.
Lalu sebuah berita mengejutkanku dan Ibu. Ayah ternyata mengutang pada rekannya. Dan Ayah tak mampu membayarnya. Dia meninggalkanku dan Ibu dalam keterpurukan. Aku yakin lagi-lagi kau menilaiku kurang ajar. Aku memanggil Ayah dengan sebutan 'dia' bukannya 'beliau'. Cih, orang seperti dia tak pantas dihormati sehingga harus dipanggil dengan 'beliau'. Aku membencinya. Benci sekali.
Sekarang, aku hidup berdua dengan Ibu. Kami berhasil kabur dari kejaran rentenir. Aku dan Ibu tinggal di rumah kecil di sebuah desa terpencil. Terpaksa kami harus hidup disini. Karena kami takkan mungkin selamat kalau saja masih berada di kota. Sebulan setelah berjuang hidup di desa ini, aku merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku. Ibu segera memeriksakanku ke sebuah klinik kecil yang dibangun oleh seorang relawan kaya. Hasilnya? Aku divonis mengidap kanker otak. Dokter bilang, hidupku hanya berkisar tiga tahun lagi, atau paling lama lima tahun. Sejak itu, duniaku yang sudah kelam makin gelap. Aku sudah tak peduli pada siapapun kecuali Ibu. Buat apa aku peduli pada yang lain? Agar dinilai baik? Hah, sudah baik pun sikapku, tetap saja roda kehidupanku bergulir di bawah. Selalu di bawah. Percuma aku berlaku baik.
"Nggg...." erangan pelan Ibu membuat lamunanku buyar. Aku menoleh pada Ibu. Ibu sudah bangun dari tidurnya. Beliau mengelus pipiku pelan, lalu tersenyum lembut. Inilah ibuku. Tak pernah berhenti tersenyum sekalipun wajah tuanya sudah tampak letih.
"Akhirnya kamu sadar, Di. Kamu pingsan seharian ini," ucapan Ibu membuatku mendongak menatap jam dinding. Benar kata Ibu. Sekarang jam lima pagi. Aku pingsan kemarin sekitar jam enam lewat lima belas menit. Nyaris seharian.
"Dia datang lagi, Di.." sambung Ibu. Aku mengernyitkan dahi. Ibu menunjuk meja di sisi kananku. Aku menoleh dan mendapati sekeranjang buah-buahan segar terletak manis disana. Aku mendengus. Dia. Seseorang yang selalu sok perhatian padaku. Fadhil.
"Jam berapa dia datang?" tanyaku pada Ibu.
"Sekitar jam pulang sekolah kemarin. Ibu ke ruangan dokter dulu ya, Di. Kamu kuat sendiri kan?" Ibu beranjak dari kursi. Aku mengangguk sekilas. Ibu berjalan keluar dari kamar. Aku menyandarkan diri di bantal. Menghela napas.
Fadhil. Teman sekelasku di satu-satunya SMA di desa ini. Sejak hidupku mulai berubah, aku selalu menutup diri pada siapapun kecuali Ibu. Karena sifatku itu, seluruh teman sekelas, bahkan teman sekolahku, selalu menjauhiku. Mereka menganggapku anak aneh. Aku sih tak ambil pusing. Toh aku juga tak mau repot-repot berteman. Tapi.. Fadhil berbeda. Dia perhatian padaku. Tapi opiniku sih, dia hanya sok perhatian. Bayangkan saja. Fadhil kan ketua OSIS, dan termasuk remaja lelaki paling populer di sekolah. Bahkan di desa. Tak mungkin orang tenar seperti dia perhatian padaku. Palingan, dia hanya ingin menjaga image nya sebagai orang paling ramah di desa. Ya, pasti seperti itu.
KLIK.
Ibu kembali memasuki kamar. Beliau duduk di sampingku.
"Ntar jam enam kamu udah boleh pulang, Di. Abis pemeriksaan jam setengah enam nanti, limabelas menit lagi," kata Ibu. Aku mengangguk. Ah, kalian pasti heran. Aku kan kena kanker, mengapa tidak kemo? Jawabannya simpel: aku tidak mau. Padahal klinik ini mempunyai semua fasilitas untuk kemo. Tapi aku rasa percuma. Cepat atau lambat, di kemo ataupun tidak, ajal akan menemuiku kan? Aku tak ingin membebani Ibu dengan mengeluarkan biaya tambahan untuk kemo.
-----------------------------------------------
"Bisa kubantu, Dian?" suara halus itu membuatku menoleh. Ah. Fadhil. Aku kembali fokus pada bukuku.
"Tidak, terima kasih," tolakku datar.
"Kalau kau tidak bisa mengerjakan soal itu, aku bisa membantumu," katanya lagi. Aku menghela napas.
"Tidak usah, Fadhil," tolakku lagi. Tanpa menoleh.
"Dian, aku.." belum selesai ia berkata, sudah kupotong dengan bentakan.
"Bisakah kau tidak menggangguku?! Kalau memang kau mau membantu, diamlah! Aku terganggu!" bentakku. Para cewek di kelasku mencibir. Mereka pasti berpikir aku tak tau terima kasih. Biarlah. Memang aku peduli?
Aku kembali fokus pada soal Matematika yang luar biasa ajaib itu. Ah! Mengapa aku tak bisa mengerjakannya sih?! Biasanya aku cukup lancar dalam mengerjakan Matematika.
"Caranya salah. Duanya dikalikan dulu dengan lima, baru ditambah tujuh." Sebuah suara lembut menyentakku. Aku mendongak. Mendapati wajah tirus yang asing sedang tersenyum padaku.
"Kau Dian, kan? Aku murid baru, Ify." Gadis itu menyodorkan tangannya padaku. Aku hanya melirik sekilas tanpa menyambut tangannya. Gadis itu menarik tangannya kembali.
"Kapan kau datang?" tanyaku. Rasanya tidak ada murid baru hari ini. Apa aku yang terlalu cuek? Gadis di depanku tersenyum.
"Tadi pagi. Aku sudah memperkenalkan diri, lho. Apa kau sebegitu cueknya? Haha, aku bercanda," ia tergelak. Dahiku mengernyit. Ceria sekali tampaknya anak satu ini? Bahkan setelah kucueki.
"Maaf. Terimakasih atas bantuanmu tadi," kataku. Ify tersenyum lalu mengangguk. Ia membalikkan badan, menghadap ke depan. Aku mencoba mengerjakan soal ajaib itu dengan cara Ify. Ah. Ketemu jawabannya. Ternyata Ify cerdas.
Bel istirahat berbunyi. Kelas segera sepi karena murid kelasku berlarian ke kantin. Tinggallah aku dan.. siapa ya? Entahlah, aku tak memperhatikan. Aku melongok ke laci, meraih kotak bekalku, lalu meletakkannya di atas meja. Sejurus kemudian aku membelalak kaget karena menemukan wajah di depanku. Ify.
"Hehehe, sori ya kau jadi kaget. Eh tapi wajah kagetmu itu lucu sekali! Hahahaha," Ify tergelak. Aku merengut sesaat. Aku kan tak pernah memasang wajah kaget di depan orang! Baru kali ini! Dan aku sudah menuai malu.
"Hihihi.. maaf, Di. Aku kalo ketawa terkadang memang menjengkelkan. Maaf yaa.. eh, kau tidak ke kantin?" tanya Ify. Aku menggeleng sambil menunjuk kotak bekalku. Ify manggut-manggut. Sedetik kemudian ia sibuk mengorek isi tasnya, dan mengeluarkan kotak bekalnya. Ia meletakkan kotak bekal itu di mejaku. Ia memutar bangkunya, menghadapku. Sekarang kami duduk berhadapan. Aku mengernyit. Jujur saja, aku agak terganggu. Dia mengganggu hidupku yang sendiri.
"Makan bareng boleh yaaa?" tanyanya. Aku hanya mengedikkan bahu. Lalu mulai menyantap bekalku. Begitu pula Ify. Kami makan diselingi celotehan Ify. Tapi aku hanya diam. Selesai makan, aku mencari botol minumku. Loh? Kok tidak ada?
"Ini, minum saja. Kau lupa bawa ya?" Ify menyorongkan botol minumnya. Ah, aku tak suka menggunakan milik orang lain. Sekalipun bukan aku yang meminta.
"Tak usah," tolakku.
"Minum saja. Tak apa-apa," tawarnya lagi. Aku menggeleng.
"Aku.. ada penyakit. Dari pada kau tertular lebih baik tak usah," kataku. Bibir Ify membulat.
"Oo.. jadi bagaimana kau minum?" tanyanya. Aku mengedikkan bahu. Lalu tiba-tiba saja..
"Ini minum untukmu, Dian." Suara itu. Siapa lagi kalau bukan Fadhil. Dia menyodorkan sebotol air mineral. Aku menatapnya dingin. Dia ini.. memang bebal. Tak bisa dilarang sekali dua kali.
"Tidak, terima kasih," lagi-lagi aku menolak. Tapi Fadhil sudah kebal dengan penolakanku. Ia meletakkan botol itu di hadapanku.
"Ambil saja," perintahnya tegas. Aku menghela napas. Biarlah kuterima pemberiannya kali ini. Cukup kali ini saja. Aku membuka segel dan tutup botol, kemudian meminumnya. Aku menoleh ke kiri, ke arah Fadhil.
"Terimakasih," ucapku pelan. Fadhil tersenyum. Manis sekali. He? Kok mendadak panas ya? Rasanya wajahku menghangat. Apa memang suhu sedang naik? Entahlah. Aku menolehkan kepalaku pada Ify. Dia sedang memperhatikan Fadhil yang tengah membaca buku. Tatapan Ify.. berbeda. Ah, kurasa aku mengerti. Tapi kuputuskan untuk tidak ikut campur.
"Dian.. aku baru menyadari sesuatu.." mendadak Ify berbisik padaku. Aku mengangkat sebelah alis. Ia memainkan tangannya, menyuruhku mendekat. Aku hanya memandang datar. Akhirnya Ify memajukan badan. Mungkin gemas padaku yang tak kunjung mendekat. Ify berbisik di telingaku.
"Fadhil itu manis sekali ya.." Nah, kan. Sudah kuduga. Pasti Ify merasakan sesuatu pada Fadhil. Ify menarik wajahnya dari telingaku. Kulihat wajahnya memerah. Sebuah perasaan aneh muncul di hatiku. Perasaan asing. Perasaan seperti ingin menggoda Ify. Hei, ada apa ini? Bukankah aku tak pernah peduli pada orang lain?
"Dian, nanti aku kerumahmu ya?" Ify meminta izin. Ya ampun. Ify mirip sekali dengan Fadhil. Suka menggangguku.
"Ngapain?" tanyaku.
"Ada yang mau kubicarakan. Ya ya ya?" paksanya. Aku menghela napas. Lalu perlahan mengangguk, membuat wajah gadis di depanku berseri.
"Hore! Nanti ya, Di! Janji loh!" katanya. Nadanya menekan tiap kata. Aku hanya bisa menghela napas. Lagi.
-------------------------------------------------
"Jadi? Kau memang dekat dengan Fadhil ya, Di?" tanya Ify. Oh, ya Tuhan.. ini sudah ke empat kalinya Ify bertanya hal yang sama sejak ia duduk manis di kamar tidurku! Aku merapatkan gigi.
"Nggak, Ify....." jawabku dengan gigi mengatup. Ify meraih bantalku lalu memeluknya.
"Kau selalu bilang nggak. Tapi sikap Fadhil padamu berkata iya," katanya. Aku mendengus. Tuh kan! Pada akhirnya sikap Fadhil membawa dampak buruk padaku.
"Oke, Ify, aku jelasin ya. Jarang-jarang aku mau ngomong banyak. Demi kau nih. Aku, sama Fadhil, sama sekali ga deket. Sama sekali nggak. Tapi gatau kenapa, si Fadhil itu selalu sok perhatian padaku. Kau tau kan, Fy, dia itu populer sebagai anak yang ramah, baik, dan pintar. Makanya, dia pasti sok perhatian demi menjaga image nya itu," jelasku panjang lebar. Ify terlihat berpikir.
"Ah! Aku tau sekarang!" Ify menjentikkan jarinya yang kurus. Aku mengernyit. Heran.
"Fadhil pasti menyukaimu, Dian!" katanya, dengan nada seolah-olah aku orang paling beruntung sedunia. Aku menepuk jidatku. Ify! Betapa aku harus ekstra sabar dalam menghadapimu!
"Ify... kan sudah kubilang! Fadhil itu hanya menjaga image nya sebagai orang ramah sedesa! Masa kau ngga ngerti juga?!" gerutuku kesal.
"Apapun yang kau katakan, aku tetap beranggapan Fadhil menyukaimu. Tapi, aku menyukai Fadhil. Jadi, aku akan melakukan segala cara untuk merebut perhatian Fadhil!" kata Ify, penuh semangat. Aku mengambil bantal lalu menutup wajahku, lalu berteriak histeris. Susahnya menghadapimu, Ify!
-----------------------------------------------
"Pagi, Dian! Pagi, Fadhil!" teriak Ify, begitu ia memasuki kelas. Aku mendongak sejenak dari novelku, lalu fokus kembali pada buku berjudul "Beautiful Stranger" itu.
"Pagi, Ify," balas Fadhil. Aku melirik Ify. Wajahnya berseri-seri. Ia mendatangiku lalu berbisik di telingaku.
"Lihat, sudah ada kemajuan kan, Di?" bisiknya. Aku melengos. Lalu tanpa sadar bibirku melengkung membentuk senyum kecil. Tapi segera kuhapus. Ada apa ini? Masa aku semudah ini mengumbar senyum?
Tak lama kemudian, Miss Winda memasuki kelasku, dan mengajarkan materi hari ini.
PLUK!
Sebuah gulungan kertas mendarat di mejaku. Aku mengamati sekeliling. Siapa yang mengganggu waktu belajarku, sih? Aku menggeram kesal, lalu membuka gulungan kertas itu.
kamu udah lebih banyak tersenyum. aku jadi tambah suka.
-seseorang yang sedari dulu mencintaimu-
Aku mengerutkan kening. Tampaknya surat ini salah dilempar. Aku meremas kertas itu, lalu membuangnya ke dalam laci, dan kembali memperhatikan Miss Winda.
---------------------------------------------
Uh, pagi ini dingin sekali. Aku merapatkan jaketku dan masuk ke dalam kelas. Kelas sepagi ini, hanya ada Fadhil, seperti biasa. Aku duduk di bangkuku, dan memeriksa laci. Sepertinya novelku tertinggal semalam. Soalnya, aku telah memeriksa tasku, tapi novel itu tidak kutemukan.
Aku melongok ke dalam laci, dan.. ah! Itu dia! Benar kan, tertinggal disini. Aku meraih novel itu dan meletakkannya di atas meja, lalu mulai membuka halaman demi halaman. Sampai pada halaman tengah, mataku tertumbuk pada selembar amplop putih. Apa ini? Aku merobek amplop itu, dan mengeluarkan isi dalamnya. Sebuah surat. Singkat saja kata-katanya.
dirimu disana. mengusik sukma
tanganku melambai. namun bayangmu tak tergapai
Hanya itu. Tak ada nama pengirim. Aku membolak-balikkan surat dan amplop. Nihil. Si penulis benar-benar tidak mencantumkan identitasnya. Aku menghela napas. Mencoba untuk tidak peduli.
"Dian.." panggil seseorang di sebelahku. Fadhil, tentu saja. Siapa lagi. Aku menoleh, tanpa menjawab.
"Itu.. aku.. eh.." Fadhil terlihat gugup. Dia.. Fadhil kan? Cowok papan atas di sekolah dan di desa. Dia.. gugup? Atas dasar apa? Aku tetap menatap Fadhil. Matanya yang berputar demi menghindari tatapanku sebenarnya menggelikan. Aku ingin tertawa, tapi gengsi.
"Aku.. surat itu.." katanya lirih. Surat? Surat apa? Aku melirik surat yang kugenggam. Mungkinkah..? Aku kembali menatapnya tajam. Kalau benar Fadhil yang mengirimkan surat ini, ah, cukuplah! Cukuplah dia mengganggu hidupku! Cukuplah aku bersabar!
"Aku.." katanya lagi. Aku mempertajam telinga. Suaranya makin pelan.
"PAGI, DIAN, FADHIL!!" teriakan khas itu bergema di kelas yang masih sepi. Aku menoleh ke pintu. Ify.
"Pagi, Fy," balasku. Entah kudapat darimana mood membalas sapaan Ify. Mungkin aku membutuhkan pengalihan perhatian dari surat tadi dan Fadhil yang menyebalkan itu? Entahlah.
"Pagi, Ify.." balas Fadhil. Suaranya sudah normal kembali.
"Dian, ikut aku keluar yuk? Ada yang mau aku omongin. Sebentar," ajak Ify. Aku menurut saja. Ify keluar dari kelas, aku mengikuti.
"Kau udah baca surat dari Fadhil?" tanya Ify. Langsung. Tanpa embel-embel. Aku tersentak.
"Surat? Surat apa?"
"Diaaaaaan, my dear.. aku tau kau menemukan surat itu. Tadi kulihat ada kertas beserta amplop di mejamu. Sudah kau baca kah?" tanyanya lagi.
"Surat itu.. dari Fadhil?" tanyaku memastikan. Ify tersenyum lebar.
"Ya! Sudah baca kan?" desak Ify.
"Sudah. Jadi surat itu beneran dari Fadhil?" tanyaku lagi.
"Err.. sebenarnya tidak juga," jawab Ify. Ha? Ada apa lagi ini?
"Jadi dari siapa? Ayolah, Fy, jangan bertele-tele begitu!" geramku.
"Hehehe.. santai, Di. Sebenernya, surat itu aku yang tulis. Dan aku mengirimnya untukmu atas nama Fadhil," terang Ify. Apa?! Aaaaaaaargh! Ify ini benar-benar berlaku seenaknya saja! Belum sempat aku membentaknya, Ify sudah berkata hal lain.
"Tau ga, Di? Aku juga mengirimkan surat atas namamu pada Fadhil," kata Ify sumringah. APA?! Ya Tuhaaaaaan.. Ify mengatakan hal itu dengan santainya, tidak sadarkah ia sudah membuat hidupku tidak tenang?!
"Ifyy!!! Atas dasar apa kau membuat surat-surat itu?!" seruku, frustasi.
"Dian, harusnya kau senang bukan? Kau menyukai Fadhil, kau mendapat surat atas nama Fadhil. Fadhil menyukaimu, dia mendapat surat atas namamu. Seharusnya kau dan Fadhil senang," ujar Ify. Bah! Enteng sekali dia mengatakannya!
"Ify! Aku tidak..." belum selesai aku berkata, terdengar suara lain yang masuk ke dalam percakapan kami. Fadhil.
"Ify.. jadi kau yang mengirimkan surat ini?" Fadhil mengacungkan sebuah amplop. Oh, apakah itu yang membuat Fadhil gugup sambil menyebut-nyebut surat? Surat itu yang menyebabkannya? Ify tersenyum lebar, menampakkan behel warna warninya.
"Ah, Fadhil! Kau juga sudah membacanya?" tanya Ify. Fadhil mengangguk pelan.
"Fy.. jadi apa maksudmu mengirimkan surat-surat ini? Untuk membuat aku dan Dian saling berselisih paham atau bagaimana?" tanya Fadhil, sedikit membentak, meminta penjelasan. Tiba-tiba Ify menunduk. Entah kemana hilangnya keceriaan Ify. Fadhil menghela napas.
"Baiklah, Ify. Mungkin kau tak ingin menjelaskannya disini. Selain sekolah sudah ramai, aku rasa ada sesuatu yang menekan batinmu. Kita bicarakan ini seusai sekolah. Tak perlu jauh-jauh, di kelas saja," ujar Fadhil. Ia menatapku sekilas, lalu masuk ke dalam kelas. Aku mengedarkan pandangan. Benar saja, sekolah sudah ramai rupanya. Ify berjalan lesu melewatiku, masuk ke dalam kelas. Ada yang aneh. Ify terlihat sangat sangat lemas. Padahal saat berbicara denganku tadi, dia ceria-ceria saja. Apa karena Fadhil yang menghardiknya tadi? Ah, tidak.. selama ini aku membentaknya, tapi dia biasa saja. Dia kan memang bebal. Jadi karena apa dong?!
Ah, aku jadi pusing sendiri. Lebih baik aku masuk ke kelas saja, daripada memikirkan hal ribet ini.
----------------------------------------------
"Jadi, Ify, jelaskanlah maksudmu mengirimkan surat-surat itu, atas nama aku dan Dian," kata Fadhil. Lembut tapi tegas. Ify menunduk, sambil memainkan tangannya.
"Aku.. aku tau kau menyukai Dian, Dhil.." Ify memulai, lirih. Fadhil menghela napas. Aku menatap Fadhil sesaat. Benarkah?
"Baiklah. Kau benar. Lalu?" Fadhil membenarkan pernyataan Ify. Membuatku tersentak dan pipiku memanas.
"Aku juga tau bahwa Dian menyukaimu, Fadhil.." sambung Ify. Mata Fadhil membelalak, lalu ia menatapku. Aku terkejut.
"Ify?! Aku tak pernah bilang begitu kan?!" kataku. Ify mendongakkan kepala. Menatapku.
"Dian.. jangan bohongi perasaanmu. Aku tau selama ini kau pasti senang dengan perlakuan Fadhil padamu, meskipun kau selalu membalasnya dengan bentakan dan penolakan. Semua itu tergambar di matamu, Di.." ujar Ify. Aku mengernyit. Aku? Suka pada Fadhil? Tidak!
"Dian.. ingatkah kau saat Fadhil memberimu minum beberapa hari lalu? Saat Fadhil tersenyum? Wajahmu memerah, Di. Itulah tandanya kau menyukai Fadhil. Selama ini kau hanya menutupi hatimu. Buka hatimu untuk Fadhil, Dian.." sambungnya. Aku berpikir sejenak.
Selama ini Fadhil selalu berbuat baik padaku, sekalipun balasanku tak pernah manis. Tapi.. terus terang. Ada yang menghangat dihatiku kala Fadhil berbuat seperti itu. Ada yang menghangat di pipiku bila Fadhil tersenyum. Dan perasaan seperti itu rasanya muncul saat Ify mulai dekat denganku.
"Dian? Benar apa kata Ify?" tanya Fadhil. Nadanya agak mendesak. Aku hanya terdiam. Tetap larut dalam pikiranku.
Apakah.. Ify yang selama ini berusaha membuka hatiku? Agar aku bisa menerima kehadiran Fadhil? Agar aku bisa tau bahwa aku sebenarnya menyukai Fadhil? Tunggu.. rasanya aku mulai mengerti mengapa Ify mendadak lesu. Apakah dia selama ini berusaha melupakan perasaannya pada Fadhil, demi memperjuangkan kisah cintaku dan Fadhil? Jadi.. apakah dia lesu karena sudah tak mampu lagi menahan perasaan sakit hati ketika aku dan Fadhil ternyata memang saling menyukai?
Mendadak kepalaku sakit. Sakit sekali. Aku terjatuh. Pingsan.
-------------------------------------------------
"Dian? Diaaaan?!" sebuah suara berhasil mengembalikan kesadaranku. Aku membuka mata, walau berat. Dapat kulihat Ibu, Ify, dan Fadhil mengerubungiku. Mata Ibu dan Ify basah. Mereka menangis. Karena aku. Sedangkah mata Fadhil berkaca-kaca.
"I.. bu? I.. I.. Ify? Fa.. dhil?" kataku pelan. Lirih. Terputus-putus. Mengapa aku jadi sulit ngomong seperti ini?
"Iya, Di! Ini Ibu, Sayang!" sahut Ibu. Tangannya mulai membelai kepalaku. Ify menggenggam tanganku.
"Diaaan... kau kenapa?! Apakah ini gara-gara aku?!" tanya Ify. Aku tersenyum dan menggeleng pelan.
"I.. bu.. bisa tinggalkan aku.. hh.. dengan Ify dan Fadhil?" pintaku pada Ibu. Ah, aku jadi sulit bernafas, meski omonganku mulai lancar. Ibu mengangguk lalu pergi dari kamar rumah sakit. Meninggalkan aku, Ify, dan Fadhil. Aku menatap satu-satu wajah temanku itu. Ah, tidak. Sahabatku.
"Ify.. kau udah tau aku sakit apa?" tanyaku. Ify mengangguk. Butiran bening meluncur lagi di pipi tirusnya.
"Aku yang ngasih tau, Di. Semoga kau ngga marah.." ujar Fadhil pelan. Aku tersenyum.
"Ify.. terimakasih sudah.. hh.. sudah membuka hatiku.. hh.. aku tau sekarang.. kalau aku.. hh.. kalau aku menyukai Fadhil.. hh.. pernyataanmu benar, Ify.." kataku. Dadaku sesak.
"Kau menyadarinya kan, Di? Kau memang menyukai Fadhil kan, Di?" tanya Ify. Aku mengangguk, lalu tersenyum pada Fadhil. Fadhil menatapku tak percaya.
"Benarkah itu, Dian? Benar kau menyukaiku? Kalau begitu.. bisakah kita menjadi sepasang kekasih?" tanya Fadhil beruntun. Ia tersenyum lebar sekali. Tapi senyum itu hilang tatkala aku menggeleng.
"Ngga bisa.. hh.. ngga, Dhil.. waktu aku.. hh.. udah ga lama lagi.. hh.. ga akan bisa.." ujarku. Air mata mulai menetes satu-satu dari ujung mataku. Fadhil dan Ify terperangah memandangiku.
"Apa-apaan sih, Di? Kenapa kau bilang begitu?" kata Ify.
"Waktuku memang tak banyak lagi.. hh.. aku bisa.. hh.. bisa merasakannya.." ujarku lagi.
"Dian! Aku baru saja mengetahui perasaanmu! Secepat ini kau tinggalkan aku?!" sahut Fadhil. Air mata mengalir di pipinya yang hitam manis.
"Siapa yang bilang.. hh.. aku akan meninggalkanmu? Aku kan.. hh.. aku sayang padamu.. hh.. bagaimana bisa aku meninggalkanmu?" kataku sambil memandangi wajah Fadhil yang tampan.
"Aku akan terus.. hh.. terus bersamamu.. hh.. tapi tidak dalam jasad bernyawa.. hh.. aku akan selalu ada.. hh.. di hatimu.. dan hati Ify.." sambungku. Air mata Fadhil menderas. Aku menoleh pada Ify.
"Ify.. hh.. kau menyukai Fadhil kan? Bahagiakan.. hh.. bahagiakan Fadhil untukku. Untuk sahabatmu ini.. hh.." kataku pada Ify. Ify menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis. Tapi toh dia tak sanggup membendungnya. Air mata Ify pecah.
"Dian.. jangan ngomong gitu, Di... aku sayang padamu, Dian!" jerit Ify histeris. Aku tersenyum.
"Aku juga menyayangimu.. hh.. pada Fadhil juga.. hh.. tapi aku sudah tak kuat.. lagi.." aku masih mencoba berkata-kata.
Fadhil menyodorkan tangannya. Membelai pipiku lembut. Mengusap airmataku. Aku tersenyum.
Lalu jantungku berhenti berdetak.
--------------------------------------------------
the end. ga seru kan ya kan ya kan? maklumin aja, penulis amatiran cuy -,- oh iya, baidewai judulnya itu pas ga sih sama ceritanya? aku ga pandai milih judul sih -_- oh iya, endingnya itu aku contek dari novel A Life (lupa karangan siapa). tapi endingnya doang kok! beneran! cuma kalimat terakhir aja. err.. penutupnya segini aja deh. bye~
WASSALAMUALAIKUM!
cheers,
Rahma
No comments:
Post a Comment